Sabtu, 10 Desember 2016

Life is not just about you #parapencaricahayakehidupan

         Life is not just about you

Gemericik air hujan di luar gedung berlantai 3 itu sangat ramai, membentuk suatu melodi yang membuat pohon-pohon menari, gedung yang sedikit kuno dan kurang menarik jika dibandingkan dengan gedung lainnya. Tepat di samping gedung itu sedang dibangun gedung yang sangat megah. Bangunan yang membuat kita harus mendongakkan kepala untuk melihat puncak gedung. Dari jendela lantai 2, gedung kuno itu aku mengamati sejumlah orang yang sedang terhanyut dalam kesibukan mereka masing-masing. Beberapa orang sedang mengangkat barang, memindahkan barang, menyusun balok putih di bagian kiri gedung baru itu untuk sekadar menambah kemegahannya, ada juga yang mengarahkan crane yang bergoyang-goyang layaknya tarian pepohonan. Aku masih terdiam menatap gedung yang sedang berproses itu. Kulihat beberepa orang yang sedang bekerja itu menatapku pekat, seakan-akan mereka menyimpan seribu pertanyaan di kepala mereka tentang aku, seorang mahasiswi yang memakai jilbab pink dan berkaca mata sedang sangat memperhatikan kerangka gedung itu seakan di gedung itu terdapat dosen yang sedang menjelaskan beberapa rumus akuntansi.kenapa berdiri sendiri menatap gedung itu, apakah aku kurang kerjaan hingga berminat melihat gedung yang masih tak indah itu, apa tujuanku melihat dengan serius ke gedung itu dan ratusan pertanyaan lain.

Menit sudah berlalu, bosan serupa gentayangan, pun lelah sudah merambat di kedua kaki. Aku mengambil air minum dan  bersiap beranjak dari tempat aku berdiri. Baru beberapa petak ubin kulalui tiba-tiba ada sesuatu yang menarik perhatianku. Hal itu membuatku kembali ke tempat awal aku berdiri, bosan dan lelah mendadak enyah dariku. Aku kembali menatap gedung itu, bukan gedung itu yang sangat menarik untuk kulihat. Namun sesosok laki-laki tua dalam keadaan renta serta raut muka pasrah, ditambah lagi ekspresi wajah kusamnya yang berlapis-lapis coklat. Ia sedang memindahkan kerangka atap yang terbuat dari seng. Rasa ibaku akhirnya memutar bola mataku secara halus kepada pekerja lain yang masih mudah. Tentu lebih baik jika mereka kerja keras dari pada menjadi bagian dari pengangguran friksional atau pun struktural. Tapi orang tua yang baru saja kulihat rasanya tak pantas mengerjakan hal sekeras itu. Mengangkat beban berat di pundaknya dan memindahkan benda itu ke tempat lain yang cukup jauh. Badannya kurus hingga tak mampu menyembunyikan ujung tulang di persendiannya, kulitnya hitam dan sudah berkeriput karna umurnya yang telah renta, beberapa helai rambut berwarna putih nampak menyembul dari topi yang ia pakai. Baju dan celananya sudah basah kuyup di serbu jutaan butir air yang jatuh dari langit. Langit seakan menangis, tangisan pilu melihat sosok tua itu.

Aku masih terpaku serupa paku melihat hal ini. Jika beberapa menit yang lalu aku hanya mengamati dengan perasaan datar namun kini berbagai perasaan dan pertanyaan timbul dalam hati dan fikiranku, mengapa orang tua itu masih bekerja sekeras itu, kemana keluarganya dan juga anaknya. Mengapa ia dibiarkan melakukan hal sekeras itu di usianya yang renta. Orang yang seharusnya menikmati masa tuanya dengan menyeruput secangkir kopi hangat di teras sambil menikmati alunan hujan namun kenyataannya tak semanis itu. Perasaan iba dan kesal mulai berkecambuk mengisi ruang hati. Kesal karna ku tak habis pikir bagaimana bisa keluarga kakek tua itu membiarkannya bekerja sekeras itu.

     Tidak lama kemudian aku melihat 2 orang anak kecil bersama ibunya. Ibu berbaju biru itu berjalan bersama satu anak laki-laki di sisi kirinya dan satu anak perempuan di sisi kanannya. Ibu itu membawa satu payung besar berwarna hijau untuk menghalau hujan jatuh nyaris serupa dentaman kayu dan besi yang jatuh. Sang anak laki laki hanya memegang tangan ibunya dan mengikuti langkah ibunya dibawah payung hijau itu. Namun sang anak perempuan membawa payung kecil berwarna pink dan bergambarkan hello kitty serta membawa kantong kresek berisi makanan dan susu di tangan kirinya. Anak perempuan itu nampak sangat ceria walau hujan mengiringi langkahnya.  Ibu dan kedua anak itu berjalan menuju bagian depan kampus namun saat melewati bangunan yang sedang dibangun, anak perempuan itu berhenti. Melihat ke arah bangunan dengan serius, aku tak tau apa yang menarik perhatiannya. Ibunya mengajaknya untuk terus berjalan dengan memegang pipinya yang bulat. Anak perempuan itu tak bergeming, ia masih terpaku pada hal yang menarik perhatiannya. Ibu dan kakaknya ikut berhenti, mencoba menerka apa sebenarnya yang sedang ia perhatikan.

     Anak kecil perempuan itu melangkah, ia melangkah ke arah bangunan yang dibangun, beberapa pekerja dan ibunya langsung berlari menghampiri anak perempuan itu. Mereka takut sesuatu menimpa anak itu, proyek yang dipenuhi dengan properti pembangunan pasti sangat bahaya untuk anak sekecil itu. Anak perempuan dengan tinggi sekitar 70 cm dengan usia yang masih sangat muda pasti belum mengerti jika bahaya untuk masuk ke dalam sana tanpa alat pengaman sedikitpun. Langkah mungilnya itu begitu cepat hingga ibu dan para pekerja hanya bisa meneriakkan kata"jangan", ia tetap melaju dan berhenti di hadapan sosok tua yang sedang memindahkan barang. Melihat kehadiran anak kecil yang tak seharusnya berada di sana, orang tua itu menghentikan pekerjaannya dan menyapa anak kecil itu. Jarak ini terlalu jauh untuk mendengar apa yang mereka bicarakan, mungkin orang tua itu bertanya mengapa ia ada di  sana. Anak kecil itu mengatakan beberapa hal yang tak bisa kudengar. Ia memberikan kantong kresek berisi makanan dan susu yang ia bawa kepada orang tua itu, ia juga memberikan payung yang dari tadi dipegang erat seakan tak ingin melepaskannya. Kakek tua itu tersenyum menerima tas kresek dan payung dari bidadari mungil itu. Sekejab wajah kusamnya yang td hanya menampakkan kejenuhan dan keletihan kini membiaskan kegembiraan.

Aku tertegun melihat kejadian itu.  Begitu pun dengan beberapa pekerja dan ibunya yang sedari tadi meneriaki menyuruhnya untuk berbalik. Mereka semua terdiam, aku tak tau apa yang ada di fikiran mereka namun aku tau apa yang difikirkan sang ibu, ia pasti sangat bangga memiliki anak seperti itu. Anak yang masih sangat belia namun memiliki rasa keperdulian yang tinggi terhadap sesama.  Anak yang mau memperhatikan sekelilingnya dan merelakan apa yang dia miliki untuk diberikan pada orang lain. Hal yang ia berikan itu sepele namun kepedulian itu sangat berarti. Sikapnya seperti tamparan keras untukku yang sudah berusia belasan tahun namun hanya sanggup memberi sebuah simpati tanpa empati.  Sedangkan ia yang masih sangat muda sudah mampu membungkus simpati dan mewujudkannya dalam empati.

       Anak perempuan itu masih kecil, namun mampu mengajarkan hal yang besar. Hal besar yang sering kita abaikan.  Hal yang kita anggap sepele atau berusaha kita lupakan. Hal yang tak lebih penting dari tumpukan tugas yang dibatasi deadline.  Hal yang jika kita miliki tak lantas membuat dosen memberikan nilai A+ pada kita. Hal itu adalah keperdulian dan berbagi pada orang lain. Jangankan untuk berbagi, untuk memikirkan orang lain saja kita enggan. Hidup terlalu panjang jika hanya untuk memikirkan tentang diri kita sendiri, hidup terlalu berharga jika untuk dihabiskan menuntut nilai dan mengabaikan kemanusiaan.
     Kejadian dihadapanku membuat fikiranku melayang,memutar akur cerita salah satu film layar lebar yang ku tonton beberapa bulan silam. Sebuah kisah tentang seorang pemuda jenius yang ingin membuat industri benda logam bersayap yang memiliki baling baling dan dapat terbang diangkasa. Rasa cintanya terhadap bangs mendorong dia terus bergerak maju walau terpaan angin rintangan dan badai hinaan slalu mencoba menjegal langkahnya. Kejadian ini dan alur film itu kini tlah berkolaborasi menjadi satu diotakku,memberikan sebuah definisi tersendiri tentang hidup,hidup terlalu sederhana jika kita jalani mengalir saja. Tanpa sadar tugas berat itu telah menempel dipundak kita sejak kita dengan bangga melangkah menuju gedung mwgah bertuliskan almamater kita. Gundukan tugas yang menggumpal itu senantiasa menanti untuk dituntaskan,label of change yang melekat pada mahasiswa tentunya bukan hanya kalimat kiasan belaka namun menunjukkan adanya tanggung jawab dan tugas yang harus diselesaikan. Perubahan yang tak hanya untuk diri sendiri namun juga untuk suatu wilayah luas yang terdiri dari berbagai kebudayaan dan sumber daya bernamakan indonesia.
Hiduplah untuk berguna bagi semua orang di sekelilingmu, fikirkan bagaimana bangsa yang kau cintai bisa maju, tuntutlah ilmu agar kau bisa  memberikan kontribusi besar untuk dirimu, orang tua, keluarga, agama, negara dan semua orang yang ada di sekitarmu. Life not just a.afit to all people around you.


 Sang ibu mengajak anak perempuan itu kembali. Anak kecil itu tersenyum dan melambaikan tangannya pada laki-laki tua yang ada di hadapannya sebelum ia membalikkan badan meninggalkan proyek itu. Siapa anak perempuan manis yang mungil itu?
apakah ia seorang anak belia dengan didikan yang sangat baik, atau malaikat tanpa sayap yang mampir di kala hujan?